Beranda | Artikel
Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 7): Penyimpangan-Penyimpangan Agama Kaum Arab Jahiliah
11 jam lalu

Pada seri sebelumnya, kita telah membahas awal mula terjadinya penyembahan berhala pada masyarakat Arab jahiliah. Namun, penyembahan berhala hanyalah satu dari sekian banyak penyimpangan yang mereka lakukan. Artikel ini akan membahas berbagai penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat Arab jahiliah.

Tradisi mengundi nasib dengan anak panah

Orang Arab juga melakukan pengundian dengan anak panah tanpa bulu. Ada tiga macam undian yang dilakukan: yang pertama bertuliskan “iya” dan “tidak”; yang kedua undian air dan pembayaran diyat; dan yang ketiga bertuliskan “dari golongan kalian”, “bukan dari golongan kalian”, dan “tanpa nasab dan ikatan”.

Undian jenis pertama digunakan oleh orang-orang Arab dahulu ketika mereka hendak bepergian, menikah, maupun kegiatan semisalnya. Cara mereka melakukannya adalah dengan menuliskan kata “ya” dan “tidak” tersebut di anak panah, lalu diundi. Jika kata yang keluar adalah “iya”, barulah mereka melakukannya. Namun, jika yang keluar adalah “tidak”, maka mereka menunda melakukannya selama setahun. Setelah itu, mereka ulangi lagi undiannya.

Jenis undian yang ketiga bersifat sosial, digunakan ketika masyarakat Arab jahiliah meragukan nasab seseorang. Aturannya, mereka mendatangi berhala Hubal bersama orang yang nasabnya meragukan, lalu menyembelih seratus ekor unta, dan diserahkan kepada juru undi. Jika setelah diundi tulisan yang keluar “dari golongan kalian”, maka ia diakui sebagai bagian dari golongan tersebut. Jika tulisan yang keluar adalah “bukan dari golongan kalian”, maka berarti ia bukan bagian golongan tapi sekutu. Jika yang keluar adalah “tanpa nasab dan ikatan”, maka ia bukan dari kedua golongan itu.

Kepercayaan kepada kekuatan gaib dan para peramal

Orang-orang Arab jahiliah juga meyakini berita-berita dukun (كَاهِن), peramal (عَرَّاف), dan ahli nujum (مُنَجِّم). Dukun adalah orang yang mengaku bisa memberitakan peristiwa-peristiwa di masa depan dan mengklaim mengetahui hal-hal gaib. Di antara mereka ada yang mengaku memiliki pengikut dari kalangan bangsa jin yang menyampaikan informasi kepada mereka.

Peramal adalah orang yang mengklaim mengetahui perkara-perkara dengan tanda-tanda awal dan sebab-sebab tertentu yang mereka gunakan untuk menyimpulkan kejadiannya berdasarkan ucapan-ucapan orang yang bertanya, tindakannya, maupun keadaannya. Misalnya, orang yang mengaku tahu barang curian, lokasi pencurian, dan barang hilang.

Ahli nujum adalah orang yang mengamati bintang-bintang di langit dan menghitung pergerakannya beserta waktu-waktunya, untuk mengetahui keadaan dunia dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang melalui pergerakannya tersebut. Mempercayai kabar-kabar ahli nujum pada hakikatnya adalah bentuk beriman kepada bintang-bintang. Oleh karena itu, mereka biasa berkata, “Kami diguyur hujan karena bintang ini dan itu.”

Keyakinan merasa sial karena sesuatu

Orang-orang Arab jahiliah juga memiliki kepercayaan thiyarah, yaitu merasa sial karena sesuatu. Asal usulnya adalah bahwa mereka mendatangi burung atau kijang, lalu membuat hewan tersebut kaget agar terbang atau lari. Jika hewan tersebut bergerak ke arah kanan, maka mereka melanjutkan niat mereka dan menganggapnya sebagai pertanda baik. Jika hewan tersebut bergerak ke arah kiri, maka mereka mengurungkan niat tersebut dan menganggapnya sebagai pertanda sial. Mereka juga merasa sial jika ada burung atau binatang yang melintas di jalan mereka. Mereka juga merasa sial dengan hari-hari tertentu, bulan-bulan tertentu, rumah-rumah tertentu, dan wanita.

Sisa-sisa ajaran Nabi Ibrahim dan inovasi menyimpang dalam ibadah

Demikianlah kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam masyarakat Arab jahiliah. Meskipun demikian, masih ada ajaran-ajaran Nabi Ibrahim yang tersisa, yaitu mereka masih mengagungkan Ka’bah, melakukan tawaf di Baitullah, berhaji, berumrah, berwukuf di Arafah dan Muzdalifah, dan menyembelih hewan kurban.

Namun, mereka mengotori ibadah-ibadah tersebut dengan berbagai inovasi (bid’ah) yang mereka buat-buat sendiri. Berikut beberapa bentuk bid’ah yang mereka lakukan.

Pertama: Orang-orang Quraisy tidak melakukan wukuf di Arafah dan bertolak dari Arafah menuju Mina, tapi mereka bertolak dari Muzdalifah. Padahal, aturan yang berlaku adalah wukuf di Arafah. Mereka menetapkan aturan tersebut karena mereka merasa tidak pantas kalau penduduk tanah haram keluar dari area tanah haram (karena Arafah itu berada di luar tanah haram). Dan juga karena mereka merasa bahwa mereka berkedudukan tinggi sebagai keturunan Nabi Ibrahim dan penjaga Baitullah, sehingga tidak perlu wukuf di Arafah. Terkait perbuatan mereka, Allah Ta’ālā berfirman,

ثُمَّ اَفِيۡضُوۡا مِنۡ حَيۡثُ اَفَاضَ النَّاسُ

“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat banyak orang bertolak (yakni dari Arafah).” (QS. Al-Baqarah: 199)

Kedua: Mereka juga menetapkan aturan bagi mereka sendiri bahwa tidak boleh membungkus aqith (sejenis keju) dan memasak samin saat sedang berihram. Mereka juga tidak boleh memasuki kemah berbahan bulu dan hanya boleh berteduh di dalam tenda berbahan kulit ketika sedang ihram.

Ketiga: Orang yang berasal dari luar tanah haram tidak diperbolehkan membawa makanan dari luar tanah haram saat akan haji atau umrah. Selain itu, kabilah Quraisy juga menetapkan aturan bahwa orang yang berasal dari daerah luar tanah haram harus bertawaf mengenakan baju penduduk tanah haram. Jika orang-orang tersebut tidak mendapatinya, maka jemaah pria bertawaf dalam keadaan telanjang; sedangkan jemaah wanita bertawaf dengan hanya mengenakan pakaian longgar yang robek, lalu berkata,

اليوم يبدو بعضه أو كله … وما بدا منه فلا أحله

“Pada hari ini tampak sebagian atau seluruh tubuhku, dan apa yang tampak darinya tidak aku halalkan (untuk dipandang).” 

Lantunan syair ini menunjukkan bahwa sebenarnya para wanita tidak rela hanya mengenakan pakaian seadanya. Namun, mereka terpaksa melakukannya karena aturan yang dibuat-buat oleh orang-orang Quraisy.

Allah Ta’ālā menurunkan firman-Nya sebagai bentuk pelurusan terhadap praktik tersebut,

يٰبَنِىۡۤ اٰدَمَ خُذُوۡا زِيۡنَتَكُمۡ عِنۡدَ كُلِّ مَسۡجِدٍ

“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31)

Keempat: Jika orang dari luar daerah tanah haram tetapi hendak memakai pakaian yang ia bawa dari daerah asalnya saat tawaf karena menjaga kehormatannya, maka setelah tawaf ia harus membuang pakaian tersebut dan tidak ada yang boleh memanfaatkan pakaian itu.

Kelima: Ketika orang-orang Arab jahiliah sedang berihram, mereka tidak memasuki rumahnya melalui pintunya, tetapi mereka membuat lubang di belakang rumah untuk masuk dan keluar dari rumahnya.

Inilah agama dan kepercayaan mayoritas bangsa Arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad ﷺ. Setelah mengetahui beragam penyimpangan dalam kepercayaan kaum Arab jahiliah, kini saatnya menelusuri bagaimana pengaruh eksternal mulai masuk ke Jazirah Arab melalui agama-agama samawi seperti Yahudi dan Kristen. Siapa yang membawanya dan bagaimana pengaruhnya? Insyaallah akan dibahas dalam artikel berikutnya.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 6

***

Penulis: Fajar Rianto

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Disarikan dari kitab ar-Rahīq al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit perubahan.


Artikel asli: https://muslim.or.id/108605-jazirah-arab-dalam-sejarah-bag-7.html